Review Film What’s Up with Cinta? Baru seminggu sejak rilis di bioskop Indonesia pada 2 Oktober 2025, “Rangga & Cinta” sudah jadi pembicaraan panas di kalangan pecinta film remaja, terutama yang tumbuh besar dengan “Ada Apa Dengan Cinta?” dua dekade lalu. Film musikal karya Riri Riza ini, yang premiere di Busan International Film Festival akhir September, bukan sekadar reboot—ia lahir ulang kisah legendaris itu dengan nuansa era 2000-an yang penuh gejolak politik dan budaya. Dibintangi El Putra Sarira dan Leya Princy dalam debut layar lebar mereka, cerita ini angkat romansa SMA yang manis tapi dalam, dibalut lagu-lagu baru dari Melly Goeslaw dan Anto Hoed. Di tengah hiruk-pikuk sinema lokal yang didominasi horor, “Rangga & Cinta” beri angin segar: nostalgia yang tak basi, tapi relevan untuk Gen Z yang haus cerita autentik. Dengan rating 8.2 di IMDb dan antrean panjang di bioskop, film ini bukti betapa cinta remaja abadi. Apa yang bikin ia spesial? Kita review dari plot hingga pesonanya yang bikin penonton bernyanyi keluar ruang gelap. BERITA TERKINI
Ringkasan dari Film Ini: Review Film What’s Up with Cinta?
“Rangga & Cinta” berlatar Jakarta tahun 2001, saat Indonesia masih bergulat dengan reformasi pasca-Soeharto. Cinta (Leya Princy), siswi SMA populer yang percaya diri, pintar, dan dikelilingi sahabat setia—Alya (Jasmine Nadya) si bijak, Milly (Katyana Mawira) si ceroboh lucu, Maura (Kyandra Sembel) si genit, serta Karmen (Daniella Tumiwa) si pemberontak—merasa dunia miliknya. Ia jadi duta literasi sekolah, yakin menang lomba puisi tahunan. Tapi, kejutan datang saat Rangga (El Putra Sarira), cowok pendiam pindahan yang lebih suka buku daripada keramaian, kalahkan ia dengan puisi misterius. Dari situ, rasa penasaran Cinta tumbuh jadi ketertarikan, lahir benih cinta lewat interaksi halus: obrolan di perpustakaan, jalan sore, dan momen intim yang penuh intelektual.
Film runtime 119 menit ini campur drama remaja dengan elemen musikal—lagu-lagu seperti “Rangga Cinta” yang dinyanyikan Eva Celia dan Bilal Indrajaya jadi jembatan emosi. Konflik tak cuma romansa; ia sentuh isu persahabatan retak, tekanan keluarga, dan semangat sastra di tengah arus modern. Klimaks di panggung puisi, di mana Cinta dan Rangga hadapi pilihan hati versus ekspektasi sosial, tutup dengan akhir bittersweet yang rayakan pertumbuhan. Ditulis Titien Wattimena dan Prima Rusdi, adaptasi ini setia pada esensi asli: cinta lahir dari kata-kata, tapi tambah lapisan musikal yang bikin cerita mengalir seperti lagu pop era itu. Bukan sekuel langsung, tapi rebirth yang hormati warisan sambil beri napas baru.
Alasan Film Ini Sangat Populer: Review Film What’s Up with Cinta?
“Rangga & Cinta” populer karena sentuhan nostalgia yang pintar—dua dekade setelah “Ada Apa Dengan Cinta?” (AADC) jadi fenomena budaya, film ini lahir saat pandemi, awalnya direncana seri streaming sebelum pindah ke layar lebar atas permintaan fans. Premiere di Busan tarik pujian internasional, dengan Variety sebut ia “reflection of Indonesia’s historical landscape”, bikin ekspektasi tinggi. Cast baru yang fresh—El Putra dari indie scene dan Leya debutan—bawa energi muda tanpa tiru aktor asli Dian Sastrowardoyo atau Nicholas Saputra, yang kini produser dan bantu casting. Musiknya ikonik: Melly Goeslaw ciptakan lagu baru yang remix klasik AADC, seperti “Bimbang” versi emosional, bikin penonton nyanyi bareng di bioskop.
Di 2025, film ini tren di TikTok dengan challenge puisi romantis, dorong Gen Z kenal AADC sambil rasakan cerita fresh. Box office awal kuat, capai jutaan penonton dalam seminggu, berkat promosi Miles Films yang libatkan komunitas sastra sekolah. Secara budaya, ia relevan: angkat isu literasi dan identitas remaja di era digital, mirip AADC yang dorong boom sinema Indonesia 2000-an. Review CNN Indonesia puji “nuansa baru yang menjanjikan”, sementara Letterboxd penuh ulasan 4 bintang soal chemistry duo utama. Tak heran ia staple di daftar “best teen movie 2025”, bukti reboot musikal bisa sukses tanpa paksa masa lalu.
Sisi Positif dan Negatif Film Ini
Positif “Rangga & Cinta” ada di eksekusi emosional: Riri Riza sutradarai dengan lembut, tangkap gejolak remaja 2001 tanpa karikatur, sementara sinematografi Yudi Datau warnai Jakarta era itu dengan nuansa hangat—dari koridor sekolah samar hingga pantai senja yang poetis. Performa Leya Princy bubbly tapi rapuh, bawa Cinta sebagai ikon gadis kuat yang rentan, sementara El Putra Sarira diam-diam curi hati dengan tatapan dalam yang intelektual. Musiknya brilian: lagu-lagu tak cuma pengisi, tapi dorong narasi, seperti adegan piano yang bikin bulu kuduk merinding. Tema persahabatan dan sastra ditangani sensitif, beri pesan positif soal ekspresi diri di tengah tekanan sosial—relevan untuk remaja hari ini. Asian Movie Pulse sebut ia “thoroughly enjoyable”, dengan vibransi musikal yang tarik non-fans genre itu.
Negatifnya, editing kadang lompat-lompat, bikin transisi antar adegan terasa tergesa—seperti potong cepat dari konflik ke musikal yang kurang halus. Beberapa elemen remake terlalu mirip asli, seperti geng sahabat yang kadang klise, bikin terasa kurang inovatif bagi yang hafal AADC. Durasi 119 menit agak panjang untuk pacing musikal, dengan bagian tengah sedikit draggy saat bangun chemistry. Di Letterboxd, ada ulasan sebut “jumpy editing” kurangi flow, sementara Kompasiana kritik ia “lebih pas jadi film baru daripada remake”. Bagi penonton non-nostalgic, referensi politik 2001 mungkin terlewat. Meski begitu, kekurangan ini minor; film tetap kuat sebagai hiburan yang beri haru dan tawa.
Kesimpulan: Review Film What’s Up with Cinta?
“Rangga & Cinta” di 2025 jadi bukti reboot bisa lahir ulang ikon tanpa hilang jiwa, dari ringkasan romansa puisi Jakarta 2001 hingga popularitas berkat musik dan cast muda, dengan positif emosional kalahkan negatif editing lompat. Bukan sekadar nostalgia AADC, ia surat cinta untuk generasi baru: cinta tumbuh dari kata, lahir jadi lagu. Saat bioskop ramai, film ini ingatkan: di balik misteri hati, ada cerita abadi. Kalau belum nonton, buruan—atau rewatch untuk rasakan lagi getar puisi itu. Siap jatuh cinta lagi?