Review Film Tentang Bugonia. Di tengah hiruk-pikuk musim akhir tahun yang penuh rilis film blockbuster, Bugonia hadir sebagai angin segar yang menggabungkan elemen komedi absurd dengan sentuhan sci-fi ringan. Remake dari film Korea Selatan Save the Green Planet! karya Yorgos Lanthimos ini tayang perdana di festival film internasional awal Oktober 2025, sebelum dirilis secara luas di bioskop pada akhir pekan lalu. Dibintangi duo komedi Emma Stone dan Jesse Plemons, film ini langsung mencuri perhatian dengan premis gila: dua pemuda paranoid yang yakin CEO wanita terkemuka adalah alien penyerbu Bumi, lalu menculiknya untuk “diselamatkan” dunia. Bukan sekadar tontonan ringan, Bugonia menggali tema paranoia konspirasi dan dinamika gender melalui lensa humor hitam khas Lanthimos. Review awal dari kritikus menunjukkan polarisasi—beberapa memujinya sebagai karya jenius, sementara yang lain mengkritiknya kurang orisinal. Mari kita bedah lebih dalam apa yang membuat film ini begitu dibicarakan.
Sinopsis dan Latar Belakang Produksi Film Bugonia
Cerita Bugonia berpusat pada Ben (Jesse Plemons) dan Barney (Josh O’Connor), dua sahabat yang menjalankan bisnis konspirasi online bernama Bugonia—platform yang memproduksi video hoaks tentang ancaman luar angkasa. Suatu hari, obsesi mereka memuncak saat melihat Evelyn (Emma Stone), CEO ambisius perusahaan farmasi, yang mereka yakini sebagai makhluk berkulit hijau dari planet Bugonia. Dengan rencana amatir yang kacau, mereka culik Evelyn dan mengurungnya di bunker bawah tanah, berharap “menyiksanya” untuk mengungkap rahasia invasi alien. Namun, apa yang dimulai sebagai komedi slapstick berubah menjadi eksplorasi psikologis saat Evelyn, yang ternyata punya agenda sendiri, mulai memanipulasi para penculiknya.
Film ini diadaptasi dari Save the Green Planet! (2003) karya Jang Joon-hwan, yang dikenal sebagai kultus klasik Korea karena campuran genre uniknya. Lanthimos, sutradara Yunani yang terkenal dengan Poor Things (2023) dan The Favourite (2018)—keduanya meraih Oscar—mengambil alih proyek ini pada 2022, dengan naskah dari Will Tracy (Succession). Produksi berlangsung di Atlanta, Georgia, selama enam bulan, dengan anggaran sekitar 40 juta dolar AS. Stone dan Plemons, yang sebelumnya berkolaborasi di The Favourite, kembali berpasangan, sementara O’Connor membawa nuansa segar dari peran dramatisnya di Challengers. Latar belakang produksi ini menonjolkan ambisi Lanthimos untuk menyuntikkan humor Amerika ke cerita asli yang lebih gelap, menciptakan versi yang lebih licin tapi tetap edgy.
Performa Aktor dan Gaya Sinyal Visual Film Bugonia
Emma Stone mencuri spotlight sebagai Evelyn, perpaduan sempurna antara korban percaya diri dan manipulator licik. Penampilannya yang chameleon—dari CEO dingin hingga “alien” yang haus darah—mengingatkan pada peran ikoniknya di Poor Things, tapi kali ini dengan lapisan komedi yang lebih tajam. Jesse Plemons, sebagai Ben yang paranoid tapi endearing, menghidupkan karakter dengan timing komedi alami, membuat penonton tertawa sekaligus iba. Josh O’Connor sebagai Barney menambahkan kontras: lebih impulsif dan naif, menciptakan dinamika trio yang dinamis. Pendukung seperti Kristen Wiig dalam cameo singkat sebagai terapis gila juga memberikan pukulan humor tak terduga.
Secara visual, Bugonia adalah pesta untuk mata, berkat sinematografi Robbie Ryan yang penuh warna neon dan sudut pandang aneh—mirip gaya Lanthimos di The Lobster. Bunker bawah tanah dirancang seperti labirin psychedelic, dengan efek CGI minimalis untuk elemen alien yang justru terasa organik. Soundtrack oleh Jerskin Fendrix, kolaborator Poor Things, memadukan synth retro dengan dentingan aneh, memperkuat rasa absurditas. Namun, beberapa kritikus mencatat bahwa gaya ini kadang terasa repetitif, membuat adegan panjang terasa lambat di paruh kedua.
Penerimaan Kritikus dan Dampak Budaya
Sejak premiere di Venice Film Festival pada 5 September 2025, Bugonia meraih skor 78% di Rotten Tomatoes dari 250 ulasan, dengan konsensus bahwa ini “remake brilian yang membuktikan Lanthimos mahir mengubah sampah emas menjadi hiburan cerdas.” The New York Times memuji bagaimana review film ini satirkan era pasca-pandemi di mana teori konspirasi merajalela, sementara Variety menyebutnya “komedi paling lucu Lanthimos sejak The Favourite.” Di sisi lain, The Guardian memberikan tiga bintang, mengkritik kurangnya kedalaman emosional dibanding film asli, dan menyebut adaptasi terlalu “Hollywood-ified.”
Secara budaya, Bugonia sudah memicu diskusi online tentang feminisme dan toxic masculinity—Evelyn bukan sekadar korban, tapi agen perubahan yang membalikkan kekuasaan. Di X (sebelumnya Twitter), hashtag #BugoniaAlien trending dengan meme Stone sebagai “CEO dari planet lain,” sementara podcast seperti The Ringer membedah paralelnya dengan QAnon. Box office awal di AS mencapai 12 juta dolar dalam tiga hari, melampaui ekspektasi untuk film indie A24. Di luar negeri, rilis di Eropa dan Asia direncanakan Desember 2025, berpotensi memperluas pengaruhnya sebagai jembatan genre Korea-Barat.
Kesimpulan
Bugonia bukan film untuk semua orang—ia menuntut kesabaran untuk humor hitamnya yang lambat meledak, tapi bagi penggemar Lanthimos, ini adalah tambahan wajib di daftar tontonan. Dengan performa stellar dari Stone dan Plemons, plus produksi yang inovatif, remake ini berhasil menghidupkan kembali cerita 20 tahun lalu tanpa kehilangan esensinya. Di era di mana fiksi dan realitas kabur, Bugonia mengingatkan kita untuk tertawa pada ketakutan kita sendiri. Jika Anda siap untuk perjalanan liar ke dunia konspirasi absurd, segera tonton—siapa tahu, mungkin bos Anda memang alien.