Review Film “Oppenheimer”: Kisah Jenius Tragis. Dua tahun sejak tayang perdana, film tentang J. Robert Oppenheimer tetap menjadi topik hangat di kalangan pecinta sinema. Kisah sang fisikawan Amerika yang memimpin pengembangan bom atom pertama dunia ini bukan sekadar rekaman sejarah, melainkan potret tragis seorang jenius yang terperangkap dalam jaringan ambisi, moral, dan kekuasaan. Di tengah ketegangan geopolitik global pada 2025, di mana isu senjata nuklir dan etika teknologi semakin mendesak, film ini muncul kembali sebagai pengingat tajam. Dengan narasi yang padat dan visual yang memukau, cerita ini mengajak kita merenung: apakah kemajuan ilmu pengetahuan selalu membawa kemuliaan, atau justru kehancuran yang tak terelakkan? Melalui lensa dramatis, film ini mengupas lapisan-lapisan kehidupan Oppenheimer, dari euforia penemuan hingga beban penyesalan yang menghantuinya seumur hidup. REVIEW FILM
Perjalanan Sang Jenius: Dari Akademisi ke Pemimpin Proyek Rahasia: Review Film “Oppenheimer”: Kisah Jenius Tragis
Oppenheimer lahir pada 1904 di New York, tumbuh menjadi pemikir brilian yang haus akan misteri alam semesta. Pendidikannya di universitas ternama membawanya menyelami fisika kuantum, di mana ia menjadi salah satu pionir yang memahami kekuatan inti atom. Saat Perang Dunia II meletus, ambisinya bertemu dengan panggilan nasional. Pada 1942, ia ditunjuk memimpin Proyek Manhattan, inisiatif rahasia pemerintah Amerika untuk menciptakan senjata nuklir guna mengakhiri konflik dengan Jerman dan Jepang. Di Los Alamos, New Mexico, ia mengumpulkan ribuan ilmuwan top, termasuk nama-nama besar seperti Enrico Fermi dan Niels Bohr, membangun laboratorium darurat di tengah gurun tandus.
Proses pengembangan bom atom digambarkan dengan detail yang mendebarkan, tanpa terlalu teknis hingga membingungkan. Penonton disuguhi momen-momen kolaborasi intens, di mana perdebatan sains berpadu dengan tekanan waktu. Oppenheimer, dengan karisma intelektualnya, menjadi pusat gravitasi tim itu—seorang pemimpin yang visioner, tapi juga rentan. Hubungan pribadinya, termasuk perselingkuhan rumit dengan Jean Tatlock dan pernikahannya dengan Kitty, menambah warna manusiawi pada sosoknya. Film ini pintar menunjukkan bagaimana kehidupan pribadi Oppenheimer tercampur dengan tugas nasional, menciptakan fondasi bagi tragedi yang akan datang. Di era 2025, di mana proyek-proyek rahasia teknologi seperti kecerdasan buatan marak, perjalanan ini terasa begitu dekat, mengingatkan bahwa di balik inovasi besar sering tersembunyi pengorbanan pribadi yang tak terhitung.
Dilema Moral di Balik Ledakan Trinity: Review Film “Oppenheimer”: Kisah Jenius Tragis
Puncak emosional film ini adalah uji coba Trinity pada Juli 1945, momen di mana bom atom pertama meledak di padang pasir New Mexico. Adegan itu dibangun dengan ketegangan luar biasa: keheningan tegang sebelum dentuman, cahaya terang yang menyilaukan, dan gelombang panas yang menyapu wajah para saksi. Oppenheimer, yang mengutip Bhagavad Gita—”Kini aku menjadi Kematian, penghancur dunia”—terlihat hancur di balik kegembiraan sementara. Ledakan itu bukan hanya kemenangan sains, tapi juga awal dari neraka moral yang menjeratnya.
Film ini mengeksplorasi konflik batin Oppenheimer dengan kedalaman yang jarang ditemui di biopik konvensional. Ia percaya bom atom akan mempercepat akhir perang, menyelamatkan nyawa lebih banyak prajurit Sekutu. Namun, saat bom itu jatuh ke Hiroshima dan Nagasaki, membunuh ratusan ribu jiwa sipil, penyesalannya membuncah. Apakah ia pencipta pahlawan atau algojo? Narasi non-linear film ini, yang berganti antara masa lalu berwarna cerah dan masa kini hitam-putih, memperkuat dilema itu. Setiap keputusan ilmiah digambarkan sebagai cabang pohon yang bercabang tak berujung, di mana niat baik bertabrakan dengan konsekuensi mengerikan. Di 2025, ketika perdebatan etika AI dan senjata otonom memanas, dilema ini terasa abadi—mengajak kita bertanya, seberapa jauh manusia boleh mendorong batas pengetahuan sebelum alam semesta membalas?
Intrik Politik dan Penyesalan Abadi
Tak berhenti di ledakan atom, film ini melanjutkan ke ranah politik yang kelam. Pasca-perang, Oppenheimer menjadi target intrik McCarthyisme, era pemburuan penyusup komunis di Amerika. Lewis Strauss, pejabat ambisius yang iri pada pengaruhnya, memicu sidang keamanan yang merenggut lisensi keamanan Oppenheimer pada 1954. Sidang itu digambarkan sebagai pengadilan kanguru, penuh manipulasi dan tuduhan palsu, yang mengubah jenius menjadi kambing hitam. Robert Downey Jr. menghidupkan Strauss dengan nuansa licik yang memikat, kontras dengan intensitas tenang Cillian Murphy sebagai Oppenheimer.
Penyesalan Oppenheimer tak pernah pudar; ia menghabiskan sisa hidupnya mengadvokasi pengendalian senjata nuklir, tapi bayang-bayang bom atom menghantuinya hingga meninggal pada 1967. Film ini menyoroti bagaimana kekuasaan politik sering mengeksploitasi ilmuwan, mengubah inovator menjadi korban. Di konteks terkini, di mana ketegangan antara superpower memicu kekhawatiran perang nuklir baru, intrik ini menjadi peringatan. Oppenheimer bukan pahlawan sempurna, tapi manusia biasa yang terjebak dalam roda sejarah—sebuah tragedi yang membuat penonton meninggalkan bioskop dengan hati berat, tapi pikiran terbuka.
Kesimpulan
Film tentang Oppenheimer adalah mahakarya yang menyatukan sains, drama, dan filsafat dalam satu kanvas epik. Kisah jenius tragis ini bukan hanya tentang masa lalu, tapi cermin bagi masa kini, di mana inovasi teknologi berjalan kencang tanpa rem moral yang kuat. Dengan performa aktor yang mendalam, sinematografi yang imersif, dan narasi yang cerdas, film ini mengajak kita merenungkan tanggung jawab atas ciptaan kita sendiri. Di 2025, saat dunia bergulat dengan ancaman baru, pesan Oppenheimer tetap relevan: kemajuan tanpa etika hanyalah undangan bagi kehancuran. Bagi siapa pun yang mencari hiburan yang juga mencerahkan, ini adalah tontonan wajib—sebuah ledakan ide yang akan bergema lama setelah layar gelap.