Review Film Knives Out

review-film-knives-out

Review Film Knives Out. Pada 17 Oktober 2025, gelombang nostalgia Knives Out kembali mengalir deras setelah screening perdana sekuel ketiga, Wake Up Dead Man, membuka London Film Festival pada 8 Oktober lalu, di mana sutradara Rian Johnson sebut film asli 2019 itu sebagai “fondasi” franchise yang kini rencanakan empat film lagi. Acara itu, yang tarik ribuan penonton di BFI Southbank, picu diskusi ulang soal misteri pembunuhan keluarga Thrombey, dengan Daniel Craig kembali sebagai detektif Benoit Blanc yang ikonik. Rilis 2019 ini, durasi dua jam sembilan belas menit, ceritakan penulis kaya Harlan Thrombey (Christopher Plummer) mati misterius, picu investigasi Blanc yang ungkap rahasia keluarga kaya tapi retak. Di tengah tren whodunit modern yang sering terasa formulaik, Knives Out soroti kelas sosial dan ambisi dengan twist tajam, bikin penonton geleng-geleng. Review ini kupas tiga aspek kunci yang bikin film ini abadi, dari narasinya yang licik hingga dampak budayanya, terutama saat Johnson ungkap di festival bahwa film asli lahir dari frustrasi pasca-Star Wars. BERITA TERKINI

Narasi dan Tema: Whodunit yang Bedah Kelas Sosial: Review Film Knives Out

Narasi Knives Out adalah perpaduan jenius whodunit klasik ala Agatha Christie dengan satire sosial modern, di mana Blanc selidiki kematian Harlan di malam ulang tahunnya, ungkap motif dari setiap anggota keluarga Thrombey—dari putra gagal hingga menantu ambisius. Johnson susun plot seperti puzzle rapi: babak awal penuh interogasi lucu yang bangun simpati untuk semua tersangka, lalu twist tengah ubah segalanya jadi thriller tegang, klimaks di mansion mewah yang penuh ledakan emosional. Durasi terasa pas, dengan pacing cepat yang tak pernah lelah, berkat dialog sarkastik seperti “I suspect foul play” yang Blanc ucap dengan senyum licik.

Tema utamanya kelas dan privilege: keluarga Thrombey wakili kelas menengah atas yang bergantung warisan, sementara Marta Cabrera (Ana de Armas), perawat Harlan dari latar miskin, jadi suara moral yang tak terduga. Johnson gali bagaimana kemiskinan ciptakan empati paksa, dengan hujan deras simbol banjir emosi yang beda nasib. Di London Film Festival, Johnson bilang narasi ini “cermin Amerika sekarang”, terinspirasi pengamatannya soal ketimpangan. Kekurangannya? Beberapa subplot seperti konflik saudara terasa familiar, tapi justru itu kekuatannya: narasi tak berat, tapi menusuk tajam soal ambisi keluarga yang retak, bikin penonton keluar dengan tawa getir dan renungan soal privilege sendiri.

Performa Aktor dan Pengembangan Karakter: Ensemble yang Mengintimidasi: Review Film Knives Out

Performa Daniel Craig sebagai Blanc adalah keajaiban: ia bawa karisma detektif eksentrik yang mirip Hercule Poirot tapi lebih kasar, dari aksen Selatan palsu hingga tatapan mata yang baca jiwa, tunjukkan range pasca-Bond. Ana de Armas sebagai Marta tambah kontras sempurna: gadis polos tapi cerdas yang muntah saat bohong, bikin penonton rooting untuk underdog ini. Ensemble mewah—dari Chris Evans sebagai playboy egois hingga Jamie Lee Curtis sebagai ibu manipulatif—bikin setiap adegan pesta karakter, dengan Daniel Kaluuya sebagai trooper yang curiga tapi adil.

Pengembangan karakter fokus pada hipokrasi: Thrombey keluarga tampak hangat tapi penuh retak, sementara Marta evolusi dari korban jadi pahlawan ragu-ragu. Johnson puji Craig karena improvisasi dialog yang bikin interogasi terasa hidup, seperti saat Blanc bilang “walnut?” dengan nada curiga. Di festival 2025, Johnson ceritakan casting dari teater Broadway bikin dinamika keluarga terasa autentik. Kekurangannya? Beberapa aktor cameo kurang waktu layar, tapi ensemble ini tetep kuat: bikin penonton jatuh cinta pada Blanc meski tahu ia tak sempurna, soroti tema bahwa kebenaran sering datang dari yang tak terduga.

Visual, Sound, dan Produksi: Estetika yang Tajam dan Minimalis

Visual Knives Out adalah pisau bedah yang presisi: Johnson syuting di mansion asli di Massachusetts, dengan palet warna hangat kuning untuk interior kaya kontras dingin biru luar, simbol jurang kelas. Sinematografi Steve Yedlin pakai long take untuk adegan pesta yang tegang tapi elegan, bikin penonton rasakan ruang sempit secara fisik. Di produksi 2025 ulang, visual 4K remaster bikin detail seperti lukisan berharga terasa lebih nyata.

Soundtrack Nathan Johnson, keponakan Rian, campur string tegang dengan jazz ringan, menang nominasi Oscar yang soroti ketegangan diam. Produksi ambisius tapi hemat: budget 40 juta dolar hasilkan film global 312 juta, dengan syuting enam bulan yang fokus lokasi asli untuk autentisitas. Di wawancara festival, Johnson bilang visual “seperti lukisan sosial” yang ungkap rahasia tanpa kata. Kekurangannya? Beberapa efek suara terasa konvensional, tapi produksi ini bukti film indie bisa saing blockbuster dengan cerdas, dorong penonton hargai detail kecil seperti tangga sempit yang simbol naik-turun status.

Kesimpulan

Knives Out di 2025, lewat festival London dan rencana franchise baru, tetap jadi whodunit Johnson yang sempurna: narasi kelas yang licik, ensemble Blanc yang mengintimidasi, dan visual tajam yang bedah masyarakat. Film ini tak sempurna—subplot familiar, efek standar—tapi kekuatannya di kemampuan bikin misteri terasa universal dan emosional. Bagi yang belum nonton, mulai sekarang; bagi yang sudah, ulang untuk rasakan ulang tusukannya. Pada akhirnya, seperti lukisan curian, Knives Out ingatkan: rahasia keluarga tak pernah hilang, tapi cerita bagus bisa ungkapnya—sebuah misteri yang layak dipecah ulang, di dunia yang masih penuh tipu daya.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *