Review Film Get Married

review-film-get-married

Review Film Get Married. Pada 19 Oktober 2025 ini, saat bulan Oktober yang cerah membawa aroma kopi hitam di kafe-kafe Jakarta, film Get Married karya Ernest Prakasa kembali mencuri perhatian lewat penayangan ulang spesial di bioskop terpilih untuk rayakan anniversary ke-18—sebuah momen yang bertepatan dengan rilis trailer film bertema pernikahan baru dari sutradara yang sama, Menuju Pelaminan, yang tayang 16 Oktober lalu. Debut sutradara Ernest tahun 2007 ini bukan sekadar komedi romantis; ia adalah potret ringan tapi tajam tentang pernikahan dari sudut pandang lima sahabat perempuan, di mana janji suci bertemu realitas harian yang absurd dan menyentuh. Dibintangi Rayana sebagai Mae, Jajang C. Noer sebagai ibu Mae, serta ensemble seperti Acha Septriasa dan Hannah Al Rashid, film ini sukses raih lebih dari 1,3 juta penonton saat rilis, jadi salah satu hits terbesar tahun itu. Di tengah euforia trailer Menuju Pelaminan yang soroti dinamika rumah tangga modern, Get Married terasa seperti fondasi: satir pernikahan yang tak lekang waktu. Review ini kupas esensinya secara ringkas: bagaimana ia tangkap esensi ikatan sahabat dan cinta dengan kelucuan yang tetap segar. Santai aja, tapi siap tersenyum—karena di balik tawa, ada cermin pernikahan yang jujur. BERITA TERKINI

Plot yang Manis: Pernikahan sebagai Panggung Persahabatan: Review Film Get Married

Inti Get Married terletak pada premis sederhana tapi kaya: lima sahabat perempuan—Mae, Rini, Wulan, Dian, dan Gita—masuk fase pernikahan satu per satu, tapi bukan cerita dongeng; ia penuh salah paham konyol, tekanan keluarga, dan momen introspeksi yang bikin gelak sekaligus pilu. Ernest Prakasa bangun narasi episodik: babak awal perkenalkan persahabatan mereka di Jakarta urban—nongkrong kafe, curhat asmara, dan rencana besar yang berantakan. Eskalasi datang saat pernikahan Mae jadi pemicu: dari persiapan pesta yang chaos seperti kehilangan cincin kawin, hingga pasca-honeymoon di mana realitas rumah tangga muncul—suami yang cuek, tagihan mendadak, dan rahasia kecil yang bocor.

Berbeda dari rom-com barat yang fokus pasangan, plot ini soroti solidaritas sahabat: saat satu menikah, yang lain jadi pendukung sekaligus saksi blunder, campur satir soal ekspektasi pernikahan Indonesia—dari adat Jawa yang rumit hingga tekanan “settle down” dari orang tua. Klimaksnya hangat: reuni lima tahun kemudian ungkap bagaimana pernikahan ubah mereka, resolusi di mana persahabatan tetap kuat meski hidup berubah. Tak ada drama berat; setiap konflik lahir dari situasi sehari-hari, seperti debat soal nama anak atau liburan keluarga gagal. Di ulang tayang 2025, plot ini terasa lebih dekat: dengan Menuju Pelaminan yang angkat tema serupa tapi lebih kontemporer, Get Married jadi blueprint—relevan buat generasi Z yang lagi mikir nikah di usia 30-an. Durasi 105 menit pas: cukup untuk ketawa di pesta, terdiam di curhat, dan senyum di akhir. Secara keseluruhan, cerita ajar bahwa pernikahan bukan akhir bahagia, tapi babak baru yang butuh sahabat setia.

Karakter yang Hangat: Lima Sahabat yang Seperti Kita Sendiri: Review Film Get Married

Yang bikin Get Married beda adalah karakternya—bukan pahlawan sempurna, tapi wanita biasa dengan luka dan kekuatan yang relatable. Rayana sebagai Mae wakili si ambisius tapi ragu: ia yang paling vokal soal karir vs pernikahan, ekspresinya campur semangat dan grogi bikin setiap adegan persiapan nikah terasa nyata, seperti curhat teman dekat di grup chat. Acha Septriasa lengkapi sebagai Rini: si romantis yang cepat nikah, tapi di balik senyumnya, ada kerentanan soal kompromi rumah tangga—dialognya tajam, potong idealisme dengan realita lucu seperti “Suami kok lebih suka bola daripada aku?”

Hannah Al Rashid sebagai Dian tambah dinamika: independen tapi kesepian, dengan one-liner sarkastik yang bikin gelak—ia yang paling jujur soal “nikah itu overrated”. Sementara Wulan dan Gita, dimainkan oleh aktor pendukung, bawa nuansa keluarga: satu religius, satu petualang, ciptakan interaksi seperti kelompok WA yang ribut tapi solid. Jajang C. Noer sebagai ibu Mae jadi jangkar emosional: tegas tapi penyayang, wakili generasi tua yang dorong nikah tanpa paham tekanan modern. Prakasa hindari stereotip; setiap karakter punya arc halus—Mae belajar seimbang, Rini temukan kekuatan—tanpa jadi feminisme berat. Di 2025, saat trailer Menuju Pelaminan soroti pasangan muda, ensemble ini terasa timeless: relatable buat yang single, menghibur buat yang sudah nikah. Mereka tak ideal; justru kekurangan itulah yang bikin dekat, seperti sahabat yang selalu ada saat pesta atau pilu.

Produksi dan Legacy: Debut yang Bentuk Era Komedi Baru

Produksi Get Married adalah contoh debut sukses: syuting di lokasi riil Jakarta dan sekitar, campur humor visual seperti pesta kawinan berantakan dengan dialog improvisasi yang alami. Skor musik campur lagu-lagu pop ringan era 2000-an dengan jingle sederhana, ciptakan vibe pesta yang nempel—seperti soundtrack “Get Married” yang langsung jadi hits radio. Budget indie tapi pintar: fokus ensemble tanpa efek spesial, bikin film terasa dekat meski tayang luas di 200 layar nasional. Rilis 2007 bertepatan momentum komedi pasca-era Warkop, bikin ia pecah rekor 1,3 juta penonton, nominasi FFI untuk Skenario Terbaik dan Pemeran Pendukung.

Legacy-nya luas: Get Married buka jalan genre rom-com wanita-sentris, dorong Ernest ke proyek seperti Cek Toko Sebelah, dan inspirasi remake Vietnam 2017 yang sukses di sana. Ia juga picu diskusi soal pernikahan muda—relevan saat survei 2025 tunjukkan penurunan usia nikah di urban. Di ulang tayang anniversary Oktober ini, tiket laris di bioskop Jakarta-Malang, tunjukkan daya tahan: bukan hits sementara, tapi film yang ajak refleksi sambil ketawa. Bahkan, trailer Menuju Pelaminan Mei lalu sebut Get Married sebagai inspirasi, bukti pengaruhnya. Kekurangannya? Beberapa lelucon terlalu 2000-an, bikin kurang edgy sekarang, tapi di Indonesia, itu justru pesona nostalgia. Secara keseluruhan, produksi ini bukti komedi bisa dalam tanpa hilang kelucuan, di mana persahabatan jadi jembatan emosi antar fase hidup.

Kesimpulan: Review Film Get Married

Get Married, dari debut 2007 hingga ulang tayang hangat di Oktober 2025, adalah karya Ernest Prakasa yang selamatkan rom-com dengan sentuhan sahabat dan pernikahan yang jujur. Plotnya manis, karakternya hangat, produksinya efisien—semua campur jadi paket nostalgia yang eksplor ikatan abadi lewat pesta dan pilu. Di tengah trailer Menuju Pelaminan yang baru, film ini ingatkan: nikah tak harus sempurna, asal ada sahabat yang ikut rayakan. Bagi yang belum nonton, ambil tiket sekarang; bagi yang sudah, ulang tayang ini janji reuni emosional. Santai aja, tapi siap: di balik tawa, ada pelajaran soal tumbuh bareng yang tak lekang—seperti lima sahabat yang terus curhat, nunggu pesta berikutnya. Prakasa telah ciptakan legacy yang tak tergantikan, seperti undangan nikah yang selalu bikin bahagia.

 

BACA SELENGKAPNYA DI..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *