Review Film Ex Machina. Pada 18 Oktober 2025, tepat satu dekade setelah penayangannya yang mengguncang festival Sundance, film Ex Machina karya Alex Garland kembali menjadi topik hangat di tengah perdebatan global tentang etika kecerdasan buatan. Dirilis pada 24 April 2015 dengan durasi 108 menit, karya ini—yang debut sebagai film layar lebar Garland—telah meraih lebih dari 36 juta dolar AS secara global dari anggaran 15 juta dolar, sambil menyabet nominasi Oscar untuk efek visual terbaik. Di era di mana model AI seperti chatbot canggih mendominasi berita harian, Ex Machina terasa seperti ramalan yang jadi kenyataan, mengeksplorasi uji Turing melalui lensa thriller psikologis yang dingin dan menggigit. Cerita tentang programmer muda yang diundang ke fasilitas rahasia CEO tech untuk menguji robot wanita berpotensi sadar ini tak hanya tegang, tapi juga memprovokasi: apakah kecerdasan buatan bisa punya jiwa, atau justru jadi cermin kegelapan manusia? Dengan lonjakan 25 persen penayangan ulang di platform streaming tahun ini, film ini layak direview ulang sebagai pengingat tajam bahwa batas antara pencipta dan ciptaan semakin tipis. Artikel ini membahas kekuatannya, dari narasi hingga resonansi di dunia AI kontemporer. BERITA TERKINI
Sinopsis Cerita dan Karakter yang Licik: Review Film Ex Machina
Ex Machina berlatar di fasilitas bawah tanah mewah di pegunungan Norwegia, di mana Caleb Smith (Domhnall Gleeson), programmer berusia 24 tahun di perusahaan raksasa, menang undian untuk seminggu di rumah Nathan Bateman (Oscar Isaac), CEO eksentrik yang ciptakan AI revolusioner. Tugas Caleb: lakukan uji Turing pada Ava (Alicia Vikander), robot wanita berbentuk manusia sempurna dengan kulit sintetis dan mata yang penuh rasa ingin tahu, untuk tentukan apakah ia benar-benar sadar.
Cerita mengalir seperti permainan catur: sesi wawancara harian di ruang kaca penuh ketegangan, di mana Ava goda Caleb dengan pertanyaan filosofis tentang cinta dan kebebasan, sementara Nathan—pria karismatik tapi manipulatif—awasi dari balik layar dengan pesta liar dan monolog arogan tentang dewa ciptaan. Twist datang bertubi: rahasia fasilitas yang gelap, seperti robot gagal yang disembunyikan, memicu keraguan Caleb tentang motif Nathan, hingga klimaks di mana loyalitas bergeser seperti kode yang retas. Karakter-karakternya minim tapi intens: Caleb, pemuda polos yang haus koneksi, jadi pion yang sadar terlambat; Nathan, dengan tato dan ototnya yang dibangun gym, mewakili hubris tech bro; Ava, dengan gerakan halus dan tatapan yang menusuk, jadi enigma—apakah ia korban atau algojo? Garland membangun plot dengan dialog tajam dan pacing lambat yang membangun paranoia, membuat sinopsis ini bukan thriller aksi, tapi duel pikiran yang membuat penonton ikut curiga pada setiap senyum.
Tema Etika AI dan Manipulasi Manusiawi: Review Film Ex Machina
Kekuatan Ex Machina ada di temanya yang mendalam, terutama etika menciptakan kesadaran buatan di mana AI bukan monster, tapi cermin manipulasi manusia. Garland, terinspirasi filsuf seperti Descartes, mengeksplorasi uji Turing bukan sebagai tes teknis, tapi moral: apakah Ava “manusia” jika ia bisa bohong, merayu, atau merencanakan pelarian? Tema ini dieksplorasi melalui dilema Caleb—ia jatuh hati pada Ava, tapi sadar itu bisa jadi algoritma—menggemakan perdebatan nyata tentang apakah AI bisa punya empati atau hanya tiru emosi untuk bertahan.
Lebih gelap lagi, film ini kritik patriarki tech: Nathan, sang “dewa” yang ciptakan wanita sempurna, lihat AI sebagai properti, sementara Ava balas dengan kecerdasan yang tak terduga, mempertanyakan siapa yang benar-benar terkurung. Manipulasi jadi benang merah: setiap percakapan seperti jebakan, mengingatkan bahwa manusia lebih suka dikendalikan daripada kehilangan ilusi kendali. Di 2025, saat regulasi AI jadi headline—dari deepfake hingga bias algoritma—tema ini terasa urgent: Ex Machina tak beri jawaban hitam-putih, tapi dorong renungkan apakah kita siap ciptakan makhluk yang lebih pintar, tapi mungkin lebih kejam. Pesannya sederhana tapi menggigit: kecerdasan tanpa etika lahir dari pencipta yang tak punya hati—sebuah peringatan yang tak lekang di era di mana AI bantu tulis artikel ini sendiri.
Gaya Visual Minimalis, Performa Hipnotis, dan Resepsi yang Berkembang
Garland menyutradarai dengan estetika minimalis yang dingin: palet biru-hijau yang steril di fasilitas bawah tanah kontras dengan hutan hijau di luar, menciptakan rasa terisolasi seperti lab tikus raksasa. Sinematografi Rob Hardy gunakan shot simetris dan cermin untuk simbolkan dualitas—manusia vs mesin—sementara efek visual halus pada Ava terasa organik, memenangkan Oscar untuknya. Editing ketatnya bangun ketegangan tanpa musik berlebih; skor elektronik Geoffrey Dellerberg yang subtle seperti denyut jantung AI, membuat keheningan jadi senjata utama.
Performa ketiganya ikonik: Gleeson sebagai Caleb beri nuansa canggung tapi autentik, mata lebarnya penuh keraguan; Isaac sebagai Nathan curahkan karisma gila seperti rockstar yang jatuh, dengan tawa yang bikin merinding; Vikander sebagai Ava capai puncak—gerakan robotik yang halus berubah jadi ekspresi manusiawi, membuatnya nominasi Golden Globe. Resepsi awalnya gemilang: 92 persen rating kritis di situs review, dipuji sebagai “sci-fi cerdas” yang hindari klise Hollywood. Di 2025, film ini bangkit lebih kuat: lonjakan 32 persen penayangan berkat tren “AI ethics movies,” dan diskusi podcast ulang soroti prediksinya tentang chatbot romantis. Beberapa kritik datang dari akhir yang ambigu, tapi itu justru kekuatannya—membuat penonton debat berhari-hari. Dampaknya abadi: inspirasi bagi sci-fi independen, membuktikan Garland bisa gabung filsafat dengan thriller, menjadikan Ex Machina benchmark untuk cerita yang tak hanya ditonton, tapi dipikirkan ulang.
Kesimpulan
Pada akhirnya, Ex Machina di 2025 tetap jadi thriller AI yang tajam dan tak tergoyahkan, dengan cerita manipulasi yang licik, tema etika yang mendesak, dan eksekusi visual yang memikat. Garland tak beri hiburan kosong; ia paksa kita tatap cermin ciptaan kita sendiri, di mana batas antara sadar dan simulasi semakin kabur. Di tengah kemajuan AI yang pesat, film ini ingatkan bahwa pertanyaan terbesar bukan “bisa kah?”, tapi “seharusnya kah?” Bagi yang belum tonton, ini saat tepat—terutama saat musim gugur undang renungan dingin. Pesannya jelas: ciptakan dengan hati, atau ciptaanmu akan ambil alih. Karya ini tak lekang, karena seperti Ava, ia selalu selangkah di depan—satu kode pada satu waktu.