Review Dari Film Kaka Boss. Kaka Boss (2024), disutradarai oleh Arie Kriting, adalah film komedi-drama Indonesia produksi Imajinari Pictures yang menghadirkan kisah menyentuh tentang hubungan ayah dan anak dengan latar budaya Indonesia Timur. Dibintangi oleh Godfred Orindeod sebagai Ferdinand “Kaka Boss” Omakare dan Glory Hillary sebagai putrinya, Angel, film ini mengisahkan perjuangan seorang debt collector yang beralih profesi menjadi penyanyi demi membuat anaknya bangga. Dengan pendekatan humor yang segar dan representasi budaya Timur yang autentik, film ini menawarkan hiburan yang hangat sekaligus refleksi sosial tentang stereotip dan keluarga. Artikel ini mengulas narasi, sinematografi, akting, serta kelebihan dan kekurangan Kaka Boss, yang telah menarik perhatian penonton sejak tayang pada 29 Agustus 2024. berita bola
Narasi: Drama Ayah-Anak yang Relatable
Cerita Kaka Boss berpusat pada Ferdinand, seorang pengusaha jasa keamanan dan penagih utang di Jakarta yang disegani namun kerap dicap preman karena penampilan dan logat Timurnya. Anaknya, Angel, merasa malu dengan profesi ayahnya, yang dianggap teman-temannya sebagai pekerjaan kasar. Untuk mengubah persepsi anaknya, Kaka Boss memutuskan mengejar mimpinya menjadi penyanyi, meski suaranya jauh dari merdu. Bersama produser musik Alan (Ernest Prakasa), ia berjuang menghadapi tantangan, dari ejekan hingga konflik internal dengan Angel. Narasi ini kuat dalam menggambarkan dinamika ayah-anak yang penuh emosi, dengan komedi yang terasa organik meski kadang lambat memanas. Film ini juga berani menyinggung stereotip tentang orang Indonesia Timur, seperti anggapan bahwa mereka hanya pandai berkelahi atau menyanyi, dan berhasil mematahkan stigma tersebut dengan cara yang jenaka namun bermakna.
Sinematografi: Visual yang Dinamis dan Penuh Warna
Sinematografi Kaka Boss, yang ditangani dengan apik, menghadirkan visual yang dinamis dengan sentuhan budaya Timur yang kental. Adegan pembuka menampilkan tarian modern bercampur unsur Papua yang energik, diabadikan dengan sudut kamera yang kreatif, memberikan kesan segar dan meriah. Latar Jakarta, dari kantor jasa keamanan hingga studio rekaman, digambarkan dengan warna-warna cerah yang mencerminkan semangat karakternya. Musik latar dan tema khas Indonesia Timur, seperti ritme perkusi yang khas, memperkuat identitas budaya film ini. Namun, beberapa adegan, seperti sekuens diskotik, terasa terlalu panjang, yang sedikit mengganggu ritme cerita. Secara keseluruhan, sinematografi berhasil menonjolkan kehangatan dan kekayaan budaya tanpa terasa berlebihan.
Akting: Chemistry yang Kuat meski Ada Kelemahan
Godfred Orindeod sebagai Kaka Boss memberikan performa yang menawan, menyeimbangkan karisma seorang “bos” dengan kelembutan seorang ayah. Meski dikenal dari peran aksi seperti di The Raid (2011), Godfred mampu menunjukkan sisi komedi dan emosional yang autentik, terutama melalui tatapan matanya yang penuh kasih. Glory Hillary, dalam debut aktingnya sebagai Angel, tampil mengejutkan dengan chemistry yang kuat bersama Godfred, membuat hubungan ayah-anak terasa nyata. Pemain pendukung seperti Mamat Alkatiri dan Abdur Arsyad menambah warna dengan komedi yang menghibur, meski beberapa di antaranya terasa kaku di awal film. Ernest Prakasa sebagai Alan juga solid, meski perannya lebih sebagai pemicu humor ketimbang penggerak cerita. Kelemahan kecil terletak pada akting beberapa komika yang kurang terasa natural, terutama di adegan awal.
Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan Kaka Boss adalah keberaniannya mengangkat budaya Indonesia Timur dengan autentik, menggunakan aktor asli Timur dan dialog berlogat khas yang alami. Komedi film ini, meski tidak selalu konsisten, mendarat dengan baik di momen-momen kunci, seperti saat Kaka Boss bernyanyi di studio. Pesan moral tentang keluarga, perjuangan melawan stigma, dan mengejar mimpi juga tersampaikan dengan kuat, terutama di babak akhir yang mengharukan. Namun, film ini memiliki kekurangan, seperti pacing yang lambat di pertengahan dan beberapa adegan yang terasa bertele-tele, seperti sekuens diskotik. Dialog berlogat Timur, meski otentik, mungkin sulit dipahami tanpa subtitle bagi sebagian penonton, dan beberapa lelucon terasa dipaksakan.
Relevansi dan Dampak: Review Dari Film Kaka Boss
Kaka Boss hadir sebagai angin segar di perfilman Indonesia, yang jarang menampilkan cerita tentang masyarakat Timur secara modern dan positif. Film ini relevan karena menggambarkan konflik ayah-anak yang universal, sekaligus menantang stereotip tentang orang Timur sebagai “preman” atau hanya pandai menyanyi dan menari. Dengan durasi sekitar 120 menit, film ini berhasil menyeimbangkan komedi dan drama, meski belum mencapai 1 juta penonton per September 2024, sebagian karena kontroversi terkait pandangan politik sang sutradara. Meski begitu, film ini mendapat pujian atas keberaniannya menghadirkan representasi budaya Timur yang jarang tersorot.
Cara Menikmati Film Ini: Review Dari Film Kaka Boss
Untuk menikmati Kaka Boss, tontonlah dengan pikiran terbuka terhadap logat dan budaya Timur, idealnya dengan subtitle untuk memahami dialog. Nikmati tarian dan musiknya, serta fokus pada hubungan emosional antara Kaka Boss dan Angel. Film ini cocok ditonton bersama keluarga untuk merasakan tawa dan keharuan sekaligus.
Penutup: Review Dari Film Kaka Boss
Kaka Boss adalah film komedi-drama yang menghibur dengan pendekatan segar terhadap budaya Indonesia Timur. Dengan akting solid dari Godfred Orindeod dan Glory Hillary, sinematografi yang dinamis, dan narasi yang menyentuh, film ini berhasil menyampaikan pesan tentang keluarga dan perjuangan melawan stigma. Meski terhambat oleh pacing lambat dan beberapa lelucon yang kurang kuat, Kaka Boss tetap menjadi tontonan yang layak untuk penggemar komedi keluarga. Film ini membuktikan bahwa kisah sederhana tentang kasih sayang dan transformasi diri bisa menjadi pengalaman sinematik yang berkesan, menjadikannya salah satu karya Imajinari yang patut diapresiasi pada 2024.