Review Film First Dates. Di era rom-com yang semakin didominasi formula streaming dan cerita cinta instan, 50 First Dates (2004) muncul kembali sebagai angin segar di 2025. Film ini, yang disutradarai Peter Segal, trending di platform seperti Netflix dan Hulu berkat nostalgia wave di media sosial, terutama setelah Adam Sandler merayakan ulang tahunnya dengan rewatch party virtual. Dengan rating 45% dari kritikus di Rotten Tomatoes tapi skor pengguna IMDb 6.8/10 yang stabil, film ini membuktikan daya tariknya yang tak pudar. Dibintangi duo ikonik Sandler dan Drew Barrymore—yang sudah teruji di The Wedding Singer—ini bukan sekadar komedi ringan, tapi eksplorasi manis tentang komitmen dan ketahanan cinta. Di tengah hiruk-pikuk kencan app modern, tema amnesia dan “cinta ulang” terasa relevan, membuat penonton bertanya: seberapa jauh kita rela pergi demi seseorang? Ini review yang santai, tapi yakin: 50 First Dates layak jadi pilihan akhir pekan Anda. BERITA BOLA
Sinopsis Film Ini: Review Film First Dates
Latar cerita di Hawaii yang cerah, 50 First Dates mengikuti Henry Roth (Adam Sandler), dokter hewan laut yang hobi “bermain api” dengan turis wanita. Ia menghindari komitmen serius, selalu punya alasan kabur setelah kencan pertama, sambil bekerja di akuarium lokal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Lucy Whitmore (Drew Barrymore), seniman ceria yang ia temui di restoran seafood. Kencan pertama mereka penuh tawa: Henry pamer lelucon konyol, Lucy tertawa lepas, dan chemistry langsung menyala.
Tapi, pagi berikutnya, Lucy tak ingat Henry sama sekali. Ternyata, kecelakaan ski tahun lalu membuatnya kehilangan memori jangka pendek—setiap hari baginya seperti hari pertama setelah trauma itu. Henry, yang biasanya lari dari ikatan, malah terpikat. Ia mulai “mengulang” kencan setiap hari: bikin video rekaman, ciptakan tema baru seperti pesta Hawaii atau petualangan di kebun binatang, hanya untuk memenangkan hati Lucy lagi dan lagi. Keluarga Lucy, termasuk saudara protektif Doug (Sean Astin) dan ayah buta Marlin (Blake Clark), awalnya curiga, tapi Henry buktikan ketulusannya.
Konflik memuncak saat Lucy sadar akan kondisinya melalui video yang dibuat Henry, memicu krisis emosional. Ia tolak Henry karena tak mau jadi beban, tapi Henry tak menyerah. Dengan bantuan sahabatnya Ula (Rob Schneider dalam peran absurd) dan dokter Lucy, Dr. Keats (Dan Aykroyd), cerita bergerak ke resolusi hangat. Durasi 99 menit ini campur aduk komedi slapstick, momen haru, dan twist ringan, diakhiri dengan Henry pindah profesi demi Lucy—bukti cinta yang tak kenal lelah.
Kenapa Film Ini Seru Ditonton
50 First Dates punya pesona yang bikin susah berhenti tersenyum. Pertama, chemistry Sandler-Barrymore adalah emas murni. Sandler, yang biasanya over-the-top, kali ini lebih lembut sebagai Henry yang belajar dewasa, sementara Barrymore bawa nuansa polos tapi kuat sebagai Lucy. Adegan kencan berulang seperti Henry nyanyi lagu konyol atau ciptakan “hari baru” setiap pagi, penuh improvisasi lucu yang terasa organik.
Kedua, latar Hawaii jadi karakter sendiri. Sinematografi Dean Semler tangkap pantai indah, air terjun, dan kehidupan tropis yang kontras manis dengan tema amnesia—seperti metafor cinta yang segar setiap hari. Soundtrack-nya ikonik: medley “Somewhere Over the Rainbow/What a Wonderful World” milik Israel Kamakawiwo’ole jadi penutup sempurna, sementara lagu-lagu pop seperti “Forgetful Lucy” tambah rasa playful. Peter Segal, yang sukses dengan Anger Management, jaga pacing cepat, campur humor kasar (piatan Schneider sebagai Ula) dengan sentuhan emosional tanpa terasa dipaksakan.
Ketiga, film ini cerdas mainkan trope rom-com. Bukan sekadar “guy gets girl”, tapi tanya soal ketekunan dalam hubungan—relevan di 2025 saat kencan online sering gagal total. Penggemar bilang ini film yang bikin nostalgia masa muda, apalagi dengan cameo lucu seperti Kevin James sebagai tukang es krim. Ditonton ulang, detail kecil seperti video harian Henry tambah lapisan manis, bikin Anda tertawa sekaligus haru. Cocok untuk date night atau solo chill, ini hiburan yang ringan tapi ngena.
Sisi Positif dan Negatif Film Ini
Positifnya melimpah. Chemistry utama Sandler-Barrymore sering disebut sebagai salah satu duo rom-com terbaik 2000-an, dengan Sandler tunjukkan sisi romantis yang jarang ia eksplor. Latar Hawaii dan visual cerah bikin film terasa seperti liburan, sementara tema amnesia ditangani sensitif—inspirasi dari kasus nyata seperti Michelle Philpots, meski dibungkus komedi. Humornya beragam: dari slapstick Schneider hingga momen haru seperti Lucy lihat foto dirinya bahagia. Film ini sukses box office (gross $198 juta dari budget $75 juta) dan punya fanbase loyal, termasuk adaptasi musikal di London 2025. Bagi yang suka The Wedding Singer, ini sekuel spiritual yang lebih petualang.
Negatifnya, kritik utama adalah humor kasar yang kadang berlebihan—piatan rasisme ringan atau lelucon gender yang terasa dated di 2025, seperti peran Ula yang stereotipikal. Plot amnesia terlalu fantastis; Lucy lupa semuanya kecuali skill seni, tapi tak eksplor dampak medis lebih dalam, bikin terasa gimmick. Beberapa subplot, seperti rivalitas Henry dengan mantan, terasa filler. Kritikus bilang film ini “terlalu bergantung pada bintang” daripada skrip kuat, dengan pacing yang lambat di tengah saat emosi naik. Bagi penonton sensitif terhadap representasi, elemen seperti itu bisa mengganggu keseluruhan manisnya.
Kesimpulan: Review Film First Dates
50 First Dates adalah rom-com klasik yang tetap relevan di 2025, ingatkan kita bahwa cinta sejati butuh usaha harian—bukan sekali klik. Dengan pesan sederhana tapi menyentuh tentang komitmen di tengah “lupa”, film ini ajak kita hargai momen kecil. Streaming di Netflix atau Hulu malam ini, dan siapa tahu, besok Anda bangun dengan ide kencan kreatif baru. Di dunia yang cepat lupa, cerita Henry dan Lucy abadi: cinta bukan soal ingatan, tapi hati yang setia.