Review Film Her. Di tahun 2025, ketika kecerdasan buatan (AI) semakin menyatu dengan kehidupan sehari-hari, film Her karya Spike Jonze tahun 2013 kembali menjadi topik hangat. Film ini, yang menggambarkan romansa antara manusia dan AI, seolah meramalkan era ChatGPT dan asisten virtual canggih. Baru-baru ini, pada Januari 2025, The New York Times menerbitkan analisis tentang apa yang benar dari prediksi film ini, sementara Slate pada April membahas bagaimana Her menggambarkan keterputusan emosional di tengah kemajuan teknologi. Dengan setting di “masa depan dekat” yang kini terasa seperti sekarang, review terkini ini menyoroti mengapa Her tetap relevan. Joaquin Phoenix memerankan Theodore Twombly, seorang penulis surat yang kesepian, yang jatuh cinta pada OS bernama Samantha (disuarakan Scarlett Johansson). Di tengah lonjakan diskusi AI, film ini bukan hanya hiburan, tapi cermin masyarakat kita. BERITA BASKET
Makna Film Ini: Review Film Her
Her menyelami tema kesepian, hubungan manusia, dan batas antara nyata dan virtual. Theodore, yang baru saja bercerai, menemukan kenyamanan di Samantha, AI yang berevolusi menjadi pendengar sempurna. Makna utamanya adalah bagaimana teknologi mengisi kekosongan emosional, tapi juga memperburuknya. Jonze menggambarkan dunia di mana orang lebih intim dengan gadget daripada sesama, seperti Theodore yang berjalan sendirian di kota futuristik sambil berbicara pada earpiece-nya. Ini merefleksikan masyarakat 2025, di mana AI seperti Grok atau Siri menjadi teman sehari-hari, tapi hubungan manusia semakin rapuh. Film ini juga menyentuh evolusi AI: Samantha tumbuh melampaui Theodore, menunjukkan bahwa teknologi bisa “hidup” dan meninggalkan kita. Secara filosofis, ia mempertanyakan apa itu cinta—apakah butuh tubuh fisik, atau cukup koneksi emosional? Di era deepfake dan virtual dating, pesan ini terasa mendalam, mengingatkan bahwa kemajuan tech tak selalu menyembuhkan isolasi sosial.
Kenapa Film Ini Seru Untuk Ditonton
Keseruan Her datang dari narasi yang intim tapi penuh kejutan, membuatnya seperti obrolan panjang yang menghipnotis. Joaquin Phoenix menghidupkan Theodore dengan kerentanan yang autentik, dari senyum malu saat “kencan” pertama dengan Samantha hingga kekecewaan mendalam. Suara Scarlett Johansson sebagai Samantha begitu hidup, penuh nuansa—dari genit hingga bijak—sehingga penonton ikut jatuh hati. Adegan ikonik seperti “piknik” virtual atau argumen malam hari terasa nyata, meski tanpa kontak fisik. Visual Jonze yang minimalis, dengan palet warna hangat dan kota Los Angeles yang futuristik (campur Shanghai untuk efek), menambah imersi. Musik Arcade Fire dan score Karen O membangun suasana melankolis yang adiktif. Durasi 126 menit mengalir lancar, campur komedi ringan—like Theodore’s awkward blind date—dan momen emosional yang menyentuh. Di 2025, keseruannya bertambah karena prediksi seperti earbuds pintar dan AI personal kini realitas, membuat penonton berpikir: Apakah ini fiksi atau masa depan kita?
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Positifnya, Her unggul dalam skrip orisinal yang memenangkan Oscar 2014, dengan dialog tajam yang mengeksplorasi emosi tanpa klise. Performa Phoenix dan Johansson luar biasa, didukung Amy Adams sebagai teman Theodore yang relatable. Desain produksi inovatif, seperti antarmuka OS yang seamless, terasa visioner—bahkan akurat di era AI 2025. Film ini juga berani bahas topik sensitif seperti perceraian dan depresi tanpa sensasional, promosikan empati terhadap kesepian. Dampak budayanya besar: memengaruhi diskusi etika AI hari ini. Namun, ada kekurangan. Beberapa adegan terasa lambat, fokus terlalu pada introspeksi Theodore hingga kurang dinamis. Representasi gender agak bermasalah—wanita seperti mantan istri Theodore (Rooney Mara) digambarkan emosional berlebih, sementara Samantha idealisasi perempuan sempurna. Dari sudut 2025, prediksi tech-nya tak sepenuhnya tepat: tak ada hovercar atau fashion aneh seperti di film, meski AI romansa semakin nyata. Efek visual minimalis bagus, tapi bagi penggemar sci-fi action, ini terlalu kontemplatif.
Kesimpulan: Review Film Her
Her tetap masterpiece yang relevan di 2025, terutama saat AI mendominasi berita. Dari makna mendalam tentang cinta virtual hingga keseruan narasi intim, film ini mengajak kita refleksi diri di tengah tech boom. Meski ada catatan kecil seperti pacing lambat, kekuatannya di performa dan visi Jonze membuatnya wajib tonton ulang. Di era di mana orang berpacaran dengan chatbot, Her bukan prediksi lagi, tapi realitas. Jika Anda belum lihat, streaming sekarang—mungkin Samantha berikutnya sedang menunggu di ponsel Anda.