Review Film Joker (2019). Di tengah ledakan film superhero yang mendominasi box office, Joker tahun 2019 karya Todd Phillips muncul sebagai anti-hero origin story yang gelap dan tak terduga, jauh dari kilauan Marvel. Sebagai standalone DC yang tak ikut universe utama, film ini ambil karakter ikonik dari komik 1940 dan ubah jadi studi psikologis tentang kegilaan di masyarakat yang runtuh. Dibintangi Joaquin Phoenix sebagai Arthur Fleck yang rapuh, disokong Robert De Niro dan Zazie Beetz, rilisnya Oktober 2019 picu kontroversi sekaligus pujian, dari kekerasan hingga inspirasi dunia nyata. Dengan pendapatan 1,079 miliar dolar global—tertinggi untuk film R-rated—dan dua Oscar (termasuk Best Actor), Joker jadi fenomena budaya. Pada September 2025, saat sequel Folie à Deux tayang di bioskop dengan tambahan musikal Lady Gaga, film asli ini kembali dibahas di TikTok berkat meme “put on a happy face” dan diskusi mental health. Ini bukan sekadar villain backstory, tapi cermin kegagalan sistem yang masih relevan. Artikel ini akan ulas ringkasan plotnya, rahasia popularitasnya, serta pro dan kontra yang bikin ia abadi. BERITA VOLI
Ringkasan Singkat Mengenai Film Ini: Review Film Joker (2019)
Joker mengikuti Arthur Fleck (Joaquin Phoenix), badut pesta yang berjuang dengan gangguan mental di Gotham City tahun 1980-an yang kacau, di mana kemiskinan dan korupsi merajalela. Arthur tinggal dengan ibu sakitnya Penny (Frances Conroy) di apartemen kumuh, kerja paruh waktu sebagai badut sambil mimpi jadi stand-up comedian. Obat psikiatrinya dipotong karena pemangkasan anggaran, picu halusinasi dan tawa paksa yang tak terkendali. Ia kena pukul geng remaja, lalu secara tak sengaja bunuh tiga pria kaya di subway—momen yang viral dan picu kerusuhan anti-elit.
Plot berputar di sekitar penurunan Arthur: ia kagumi Murray Franklin (Robert De Niro), host talk show yang ejek leluconnya, tapi undang Arthur ke acara. Sementara itu, tetangga Sophie (Zazie Beetz) jadi ilusi dukungan romantis, dan rahasia masa lalu ibunya ungkap trauma kelam. Adegan kunci termasuk tarian Arthur di tangga Bronx yang ikonik, atau pidato di Murray’s show yang berubah jadi manifesto kekacauan. Tanpa CGI berlebih, film ini andalkan nuansa gritty—dari hujan deras ke parade badut—dan durasi 122 menit, rated R untuk kekerasan brutal dan bahasa kasar. Klimaks beri lahirnya Joker: Arthur peluk identitas barunya di tengah Gotham yang terbakar. Secara keseluruhan, ini kisah transformasi dari korban jadi agen anarki, soroti bagaimana masyarakat tolak yang lemah hingga ia bangkit balas.
Apa yang Menjadikan Film Ini Sangat Populer
Popularitas Joker meledak berkat timing sempurna di era ketidakpastian sosial, debut di Venice Film Festival dengan standing ovation 8 menit dan buka box office domestik 96,2 juta dolar—rekor R-rated. Total 1,079 miliar dolar global kalahkan ekspektasi, didorong penonton pria 18-34 tahun yang haus cerita gelap, plus viralitas klip subway killing di media sosial. Dua Oscar—Best Actor untuk Phoenix dan Best Original Score untuk Hildur Guðnadóttir—tambah prestise, meski kontroversi kekerasan picu debat di parlemen AS.
Phoenix jadi pusat: transformasi fisiknya—turun 24 kg untuk peran—dan performa gila-gilaan curi spotlight, nominasi Golden Globe tiga bidang. Visual Phillips, terinspirasi Taxi Driver dan King of Comedy, beri nuansa retro gritty dengan sinematografi Lawrence Sher yang moody. Skor Guðnadóttir yang haunting, campur string dan tawa rekaman, tambah atmosfer tegang. Di 2025, film ini trending lagi di Max dan Netflix berkat #JokerChallenge di TikTok (miliaran views dari cosplay tarian), plus referensi di serial seperti The Penguin dorong generasi Z analisis sosialnya. Merch seperti topeng Joker naik 300% pasca-rilis, dan masuk daftar AFI Top 10. Bahkan, sequel Folie à Deux untung dari nostalgia asli. Kombinasi performa ikonik, relevansi politik, dan eksekusi low-budget (55 juta dolar) bikin Joker tak hanya populer, tapi juga polarisasi yang sehat.
Apa Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini: Review Film Joker (2019)
Joker punya kekuatan yang bikin ia unggul sebagai studi karakter. Pertama, performa Phoenix: ia beri Arthur kerapuhan yang menyedihkan sekaligus menakutkan, dari tawa histeris ke tatapan kosong, hasil latihan enam bulan yang bikin peran terasa raw. Phillips sukses bangun Gotham sebagai metafor kegagalan sosial—pemotongan layanan mental, korupsi Wayne—tanpa preach, mirip Scorsese classics tapi segar untuk DC. Visualnya brilian: warna kuning-hijau dominan simbolisasi kegilaan, sementara adegan tarian tangga Bronx jadi ikon budaya. Skor Guðnadóttir menang Oscar beri kedalaman emosional, dan tema mental health dorong diskusi nyata—donasi untuk NAMI naik 15% pasca-rilis. Secara budaya, film ini wakili underdog yang bangkit, inspirasi meme dan seni jalanan, dengan skor 8,4/10 di IMDb tunjukkan cinta luas. Ia bukti standalone bisa selamatkan franchise lelah, beri harapan bagi film anti-hero lain.
Tapi, kekurangannya tak kalah tajam. Kontroversi glorifikasi kekerasan: subway scene picu insiden copycat di AS dan Eropa, bikin Warner Bros tambah disclaimer, sementara kritikus sebut film ini simpati terlalu berat pada villain, potensi radikalisasi pemuda frustrasi. Plotnya predictable—penurunan linier ke kegilaan tanpa twist besar—dan karakter pendukung seperti Sophie terasa underdev, cuma alat naratif. De Niro sebagai Murray karikatural, kurangi kedalaman dibanding Taxi Driver, sementara elemen politik (anti-kapitalis) terasa superficial, lebih seperti komentar murahan daripada analisis mendalam. Durasi bisa terasa lambat di paruh kedua, dan absen romansa atau humor bikin ia kurang balance. Di 2025, dengan sequel yang lebih musikal, asli terasa dated bagi yang cari spectacle. Meski begitu, positifnya dominan sebagai potret kegilaan, tapi negatifnya ingatkan seni punya tanggung jawab sosial.
Kesimpulan: Review Film Joker (2019)
Joker adalah ledakan Todd Phillips yang tak terlupakan, sebuah film yang ubah badut gila jadi simbol perlawanan rapuh. Dari ringkasan penurunan Arthur hingga popularitasnya yang lahir dari Oscar dan viral sosial, ia bukti cerita gelap bisa raih miliaran di 2025. Meski kontroversi kekerasan dan plot sederhana bikin ia terbelah, kekuatannya dalam performa Phoenix dan kritik sistem jauh lebih besar—mengajak kita tanya, siapa yang bikin badut tertawa? Dengan legacy awards dan inspirasi sequel, film ini selamanya jadi pengingat: satu senyum palsu bisa ubah dunia. Nonton ulang, pakai topengmu, dan rasakan kegilaannya—karena ya, why so serious?