Review Film Balada Si Roy. “Balada Si Roy” kembali ramai dibicarakan akhir-akhir ini setelah masuk daftar film nostalgia yang wajib ditonton ulang. Dirilis Maret 2023, adaptasi novel klasik Gol A Gong ini membawa kita ke Bandung akhir 1980-an bersama Roy, remaja pemberontak yang hidupnya penuh luka tapi juga mimpi besar. Disutradarai Fajar Bustomi, film berdurasi 109 menit ini dibintangi Abidzar Al Ghifari sebagai Roy dan Febby Rastanty sebagai Ani. Meski sempat dianggap terlalu “aman” untuk ukuran cerita kultus, film ini berhasil mencuri hati generasi 90-an sekaligus memperkenalkan sosok Si Roy kepada penonton muda. Skor penonton masih bertahan di kisaran 7.8, dengan pujian terbesar untuk atmosfer retro dan akting para pemeran utama. BERITA BASKET
Nostalgia Bandung 80-an yang Hidup Kembali: Review Film Balada Si Roy
Film ini seperti mesin waktu: jalanan Braga yang masih sepi, bioskop tua, motor CB, jaket jeans, dan lagu-lagu Iwan Fals yang menggema di warung kopi. Setting Bandung akhir dekade 80 digambarkan dengan detail tanpa terasa dipaksakan; dari poster film India di dinding sampai aroma sate yang seolah tercium lewat layar. Roy digambarkan sebagai anak broken home yang kabur dari Medan ke Bandung, mencari ayahnya yang tak pernah pulang. Di sini ia bertemu geng motor, sahabat setia Dullah dan Toni, serta Ani yang jadi satu-satunya titik terang di hidupnya yang kelam. Konflik tawuran, cinta pertama, dan pencarian identitas dirangkai dengan ritme lambat tapi terasa, membuat penonton merasa ikut nongkrong di pinggir trotoar sambilikan Roy merokok sambil mendengarkan kaset pita.
Akting Abidzar dan Chemistry yang Menyala: Review Film Balada Si Roy
Abidzar Al Ghifari berhasil keluar dari bayang-bayang nama besar ayahnya. Ia memerankan Roy dengan tatapan kosong yang penuh amarah, tapi rapuh di bagian dalam. Adegan saat Roy menangis sendirian di kamar kos atau marah sampai memukul tembok terasa mentah dan jujur. Febby Rastanty sebagai Ani memberikan keseimbangan; ia lembut tapi tegas, membuat penonton percaya Roy benar-benar jatuh cinta pertama kali. Bio One sebagai Dullah dan Jourdy Pranata sebagai Toni jadi perekat persahabatan, dengan dialog khas anak gaul 80-an yang bikin senyum-senyum sendiri. Chemistry keempatnya terasa seperti sahabat beneran, terutama di adegan nongkrong sambil bercanda kasar tapi hangat.
Pesan Hidup dan Sedikit Catatan
Di balik tawuran dan balapan motor, film ini bicara soal luka keluarga, arti rumah yang sebenarnya, dan bagaimana masa muda seringkali penuh salah tapi juga penuh harapan. Roy yang awalnya hanya ingin membenci dunia, perlahan belajar memaafkan—bukan karena dunia berubah, tapi karena ia menemukan orang-orang yang memilih tetap ada di sisinya. Sinematografi lembut dengan filter kuning kecokelatan memperkuat nuansa nostalgia, ditambah soundtrack yang hampir semuanya lagu-lagu era itu (termasuk “Bongkar” dan “Aku Milikmu”). Catatan kecil: beberapa adegan tawuran terasa terlalu estetis, dan endingnya terasa agak tergesa. Tapi justru kekurangan itu membuat film ini terasa manusiawi, bukan cuma adaptasi sempurna di atas kertas.
Kesimpulan
“Balada Si Roy” bukan film yang sempurna, tapi ia berhasil jadi kapsul waktu yang hangat sekaligus pedih. Ia mengingatkan kita bahwa masa muda selalu penuh bekas luka, tapi juga penuh lagu yang tak pernah kita lupakan. Cocok ditonton bareng teman lama sambil ngopi, atau sendirian sambil merenung, atau bersama anak muda yang ingin tahu bagaimana rasanya jadi remaja sebelum ada ponsel. Tiga tahun berlalu, film ini masih sering diputar ulang, dan setiap kali selesai, selalu ada satu kalimat yang terngiang: “Rumah itu bukan tempat, tapi orang-orang yang membuat kita merasa pulang. Dan bagi banyak orang, Roy dan teman-temannya sudah jadi rumah itu sendiri.