Review Film First Blood. First Blood rilis Oktober 1982 dan langsung jadi salah satu film action paling berpengaruh di era 80-an. Banyak yang ingat hanya “Rambo” yang membantai ratusan orang, padahal film ini sebenarnya drama psikologis yang gelap tentang veteran perang yang dikhianati negara sendiri. Stallone, yang waktu itu masih segar dari Rocky, ambil peran John Rambo dan ubah citra dari mesin pembunuh jadi korban sistem yang hancur. BERITA BASKET
John Rambo Bukan Pahlawan Biasa: Review Film First Blood
Rambo datang ke kota kecil hanya untuk cari teman satu-satunya yang masih hidup dari unitnya. Begitu tahu teman itu sudah mati karena kanker akibat Agent Orange, dia langsung jadi orang asing di negaranya sendiri. Polisi lokal yang arogan, dipimpin Sheriff Teasle (Brian Dennehy), langsung anggap dia ancaman hanya karena rambut panjang dan jaket tentara. Penangkapan kecil berubah jadi perang satu orang karena Rambo cuma melakukan apa yang dia diajarkan selama bertahun-tahun: bertahan hidup.
Trauma Perang yang Sangat Nyata: Review Film First Blood
Flashback singkat di gua, ketika Rambo cerita soal teman-temannya yang disiksa di Vietnam dan bagaimana dia “dibuang” begitu pulang, adalah salah satu momen paling kuat di film ini. Kalimat “Back there I could fly a gunship, I could drive a tank… but here I can’t even get a job parking cars!” adalah tamparan keras buat siapa saja yang berpikir veteran perang langsung bisa hidup normal. Rambo nggak marah karena gila; dia marah karena ditinggalkan.
Aksi yang Masih Brutal dan Realistis
Berbeda dari sekuelnya yang berubah jadi one-man-army, di First Blood Rambo hampir nggak membunuh siapa-siapa. Dia cuma melumpuhkan, menjebak, dan kabur. Adegan dia jatuh dari tebing, dijahit sendiri pakai jarum dan benang, atau mengejar polisi dengan pisau buatan sendiri masih terasa sakit sampai sekarang. Sinematografi pegunungan Pacific Northwest yang dingin dan basah bikin suasana semakin tertekan. Musik Jerry Goldsmith yang minimalis tapi menghantui jadi pendamping sempurna.
Monolog Akhir yang Bikin Bioskop Sunyi
Adegan Rambo akhirnya menangis di pelukan Kolonel Trautman (Richard Crenna) adalah puncak film ini. Stallone menangis beneran, naskahnya diimprovisasi di tempat, dan sutradara nyaris nggak potong satu kata pun. “I did what I had to do to win… but somebody wouldn’t let us win!” adalah jeritan seorang yang dikorbankan negara, lalu disalahkan karena selamat. Bioskop waktu itu konon sunyi senyap, banyak veteran yang keluar sambil nangis.
Kesimpulan
First Blood bukan film action biasa. Ini film tentang rasa sakit yang disembunyikan di balik otot dan senjata. Stallone berhasil bikin Rambo jadi simbol veteran yang dilupain, sekaligus peringatan bahwa perang nggak pernah benar-benar selesai buat orang yang mengalaminya. Sayangnya, sekuel-sekuel berikutnya ubah karakter ini jadi superhero, padahal di film pertama dia cuma manusia yang sudah terlalu sering dipukul hidup. Kalau kamu cuma tahu Rambo dari meme atau ledakan, nonton film ini sekali lagi. Kamu bakal sadar bahwa kalimat “They drew first blood, not me” bukan cuma slogan keren, tapi teriakan orang yang sudah nggak punya apa-apa lagi untuk diambil. Masih masterpiece sampai hari ini.