Review Film Venom: The Last Dance

review-film-venom-the-last-dance

Review Film Venom: The Last Dance. Dirilis pada 25 Oktober 2024, Venom: The Last Dance menutup trilogi petualangan Eddie Brock dan symbiote-nya dalam Sony’s Spider-Man Universe (SSU) dengan penuh gebrakan. Disutradarai oleh Kelly Marcel, yang juga menulis naskah, film ini menampilkan Tom Hardy kembali sebagai Eddie dan Venom dalam petualangan terakhir mereka. Meski mendapat tanggapan beragam, film ini berhasil memikat penggemar dengan humor khas dan aksi yang kacau. Dengan durasi 109 menit, film ini mencoba menyeimbangkan komedi, aksi, dan emosi, meski tidak selalu mulus. Artikel ini akan mengulas ringkasan cerita, alasan mengapa film ini layak ditonton, serta sisi positif dan negatifnya, memberikan gambaran jelas tentang penutup trilogi ini. BERITA BASKET

Ringkasan Singkat Dari Film Ini
Venom: The Last Dance mengikuti Eddie Brock (Tom Hardy) dan symbiote Venom yang sedang dalam pelarian setelah peristiwa di Venom: Let There Be Carnage. Cerita dimulai dengan Eddie di Meksiko, di mana ia menjadi buronan setelah dituduh melakukan pembunuhan. Namun, ancaman yang lebih besar muncul ketika Knull, pencipta symbiote, mengirimkan pasukan makhluk alien untuk menangkap Venom. Eddie dan Venom, yang kini semakin erat sebagai “pasangan”, berusaha kabur sembari menghadapi militer yang dipimpin oleh Rex Strickland (Chiwetel Ejiofor) dan ilmuwan misterius (Juno Temple). Film ini berfokus pada perjalanan mereka melintasi Amerika, dengan momen-momen absurd seperti Venom mengendalikan seekor kuda. Puncaknya adalah konfrontasi epik melawan Knull, yang menentukan nasib Eddie, Venom, dan Bumi, dengan pengorbanan emosional yang menjadi inti cerita.

Kenapa Film Ini Layak Untuk Ditonton
Venom: The Last Dance layak ditonton karena tetap setia pada daya tarik utama trilogi ini: chemistry kocak antara Eddie dan Venom. Tom Hardy menghibur dengan dualitasnya sebagai manusia lelet dan symbiote yang gila makan, membuat film ini menjadi hiburan ringan yang menyenangkan. Adegan-adegan absurd, seperti Venom menari di klub atau mengambil alih kuda, menawarkan humor yang tidak malu-malu merangkul keanehan. Bagi penggemar SSU, film ini memberikan penutup yang memuaskan dengan koneksi ke karakter seperti Knull dan cameo singkat yang menggoda masa depan franchise. Visual aksi, meski tidak selalu sempurna, menawarkan momen-momen seru, terutama dalam pertarungan akhir yang penuh ledakan. Film ini juga berani menyentuh tema pengorbanan dan ikatan emosional, menjadikannya lebih dari sekadar aksi superhero biasa, meski tetap ringan dan mudah diikuti.

Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Sisi positif film ini terletak pada performa Tom Hardy, yang sekali lagi membuktikan dirinya sebagai jantungan trilogi Venom. Chemistry antara Eddie dan Venom, penuh dengan candaan dan pertengkaran, adalah inti dari kesenangan film ini. Adegan aksi seperti pengejaran di Area 51 dan pertempuran melawan symbiote lain cukup menghibur, dengan beberapa momen kreatif seperti Venom mengendalikan berbagai inang. Humor absurd, seperti interaksi dengan keluarga hippie yang diperankan Rhys Ifans, menambah warna unik. Namun, sisi negatifnya cukup mencolok. Alur cerita sering terasa berantakan, dengan subplot di laboratorium bawah tanah yang membingungkan dan kurang relevan. Peran Chiwetel Ejiofor dan Juno Temple terasa kurang dimanfaatkan, dengan karakter mereka yang satu-dimensional. Visual efek kadang terlihat murahan, terutama dalam pertarungan besar yang terasa seperti gumpalan goo tanpa bentuk jelas. Selain itu, film ini gagal memanfaatkan potensi Knull sebagai penutup ancaman yang epik, membuat klimaksnya kurang memuaskan bagi sebagian penonton.

Kesimpulan: Review Film Venom: The Last Dance
Venom: The Last Dance adalah penutup trilogi yang penuh gaya, meski tidak sempurna, untuk petualangan Eddie Brock dan Venom. Dengan Tom Hardy sebagai pendorong utama, film ini berhasil menghibur dengan humor absurd dan aksi yang kacau, menjadikannya pilihan tepat bagi penggemar yang menyukai kekonyolan duo ini. Meski memiliki kekurangan seperti alur yang berantakan dan karakter pendukung yang lemah, sisi positif seperti chemistry Hardy dan momen-momen tak terduga membuatnya tetap menyenangkan. Film ini mengingatkan kita bahwa kekuatan Venom terletak pada hubungan unik antara manusia dan symbiote, bukan pada narasi yang rumit. Bagi yang mencari hiburan ringan dengan sentuhan emosi, The Last Dance adalah perpisahan yang cukup manis, meski tidak sekuat pendahulunya.

 

BACA SELENGKAPNYA DI..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *